Selasa, Oktober 14, 2008

Menakar Strategi Pengentasan Kemiskinan di Kalimantan Timur


Oleh : Castro*

“Seluruh isi alam dan bumi ini, sangatlah mencukupi bagi seluruh umat manusia. Akan tetapi tidak akan pernah cukup bagi satu orang yang serakah”. (Mahatma Gandhi)


Pengantar
Kemiskinan merupakan bentuk langsung dari ketidakstabilan ekonomi (unstabilished economic). Fakta ini kemudian turut mempengaruhi pola hubungan social masyarakat kita. Meningkatnya kriminalitas, dekadensi moral dan etika, ketidakpercayaan diri secara massal, serta lemahnya produktivitas dan kreatifitas, adalah buah dari kemiskinan, meski kita juga tidak bisa menutup mata terhadap varian lain yang juga turut mempengaruhi terjadinya kemiskinan ini. Indonesia yang memiliki jumlah penduduk lebih dari 230 juta jiwa, memiliki angka kemiskinan sebesar 37,17 juta atau sekita 16,58 persen dari total penduduk Indonesia (BPS, 2008). Di Kalimantan Timur sendiri, angka kemiskinan bisa dikatakan masih cukup signifikan, mengingat Kaltim adalah daerah yang dikenal memiliki sumber daya alam yang melimpah, khususnya tambang batubara, minyak dan gas. Dari data resmi yang dilangsir oleh BPS Kaltim tahun 2008 ini, jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Kalimantan Timur pada bulan Maret 2008 sebesar 286,4 ribu atau sekita 9,51 persen dari total penduduk Kaltim sebesar 2.957.465 (Berita Resmi Statistik BPS Kaltim, Maret 2008).

Redefinisi Kemiskinan Versi Pemerintah
Data kemiskinan hingga hari ini masih menjadi sesuatu yang terbilang masih abstrak, penuh dengan kontroversi sehingga mengundang banyak keraguan, terutama menyangkut angka garis kemiskinan yang selama ini diserap oleh publik. Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai lembaga pemerintah yang mengeluarkan data resmi mengenai ini, baik nasional maupun daerah, belum mampu memberikan penejelasan secara utuh mengenai metodelogi yang digunakan dalam menghitung angka garis kemiskinan ini. Walhasil, semua kalangan, baik peneliti, maupun masyarakat awam, sagat sulit mengkritisi setiap angka-angka kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS secara resmi. BPS tidak pernah transparan terhadap setiap data yang dikeluarkannya, bahkan cenderung sangat ditutup-tutupi. Padahal data kemiskinan tersebut lebih bersifat “academic exercise”, dimana setiap orang bisa mengetahui dan mengenali cara dan metode yang digunakan agar dapat dikritisi secara terbuka untuk dijadikan data pembanding (replikasi), terhadap kebenaran data yang disajikan. Hal tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi peyimpangan terhadap akurasi data yang dikeluarkan oleh sebuah lembaga, terlebih oleh BPS yang notabene merupakan perpanjangan tangan dari Pemerintah.

Secara sederhana, kita dapat memberikan pengertian terhadap kemiskinan sebagai besaran penghasilan/pendapatan per-orang yang digunakan untuk mengkategorikan miskin-tidaknya seseorang. Ada beragam pendapat mengenai definisi kemiskinan ini. Mulai dari pendekatan standar kemiskinan internasional yang dikeluarkan oleh Bank Dunia, yakni mereka yang berpendapatan di bawah US$2 perhari, sampai ke pendekatan kebutuhan ragawi, yakni penghasilan yang dibutuhkan untuk memungkinkan konsumsi senilai 2.100 kalori perkapita perhari. Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri, sebagai lembaga data resmi Pemerintah, mengukur angka kemiskinan dengan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dengan pendekatan ini, dapat dihitung Headcount Index, yaitu persentase penduduk miskin terhadap total penduduk (Berita Resmi Statistik BPS Kaltim, 2008).

Disamping metodelogi BPS yang dianggap masih belum transparan, pemerintah juga dianggap kurang relevan lagi menggunakan patokan kemiskinan yang selama ini dijadikan sebagai tolak ukur untuk menetapkan atau mengkategorikan seseorang berada dalam garis kemiskinan atau tidak. Pemerintah menggunakan asumsi miskin, dengan pendapatan US$ 0,6 atau sekitar Rp.5.500,- perhari atau sekitar Rp. 165.000,- perbulan. Angka ini tentu sangat tidak patut lagi dijadikan patokan hari ini, mengingat tingkat kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat, seiring dengan tingkat harga kebutuhan pokok yang terus menunjukkan grafik yang terus meninggi (ecces suplay). Jika seandainya patokan standarisasi kemiskinan dengan angka Rp. 5.500 perhari kita kalkulasikan dengan biaya hidup seseorang perharinya, sangatlah tidak mencukupi. Untuk makan dan minum saja jauh dari cukup, apalagi jika ditambahkan dengan beban hidup yang lain, terutama kebutuhan sandang dan papan, yang mencakup tempat tinggal serta biaya perawatannya, semisal ; biaya listrik, air, kesehatan, pendidikan anak, dll. Logikanya, seekor binatang perliharaan sekalipun tentu membutuhkan kandang untuk berteduh dan restorasi tubuh, apalagi dengan manusia yang kebutuhannya jauh lebih tinggi.

Menggagas Solusi Tepat Pengentasan Kemiskinan
Pada abad 21 ini, Negara-negara didunia pada tahun 2000 dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Millenium di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York, sebenarnya telah membuat komitmen bersama secara global mengenai Millenium Development Goals (MDGs), dimana salah satu agenda utamanya adalah penerapan konsepsi pembangunan berkelanjutan (suistanable development) sebagai solusi kian rapuhnya bumi dari aktivitas manusia sehingga menyebabkan ketidakseimbangan alam dengan tingkat kebutuhan manusia. Komitmen semua bangsa di dunia untuk menghapus kemiskinan dari muka bumi ini ditegaskan dan dikokohkan kembali dalam "Deklarasi Johannesburg mengenai Pembangunan Berkelanjutan" yang disepakati oleh para Kepala Negara dari 165 negara yang hadir pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan, bulan September 2002 yang kemudian dituangkan dalam dokumen "Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan". Dari komitemen tersebut, tertuang beberapa resolusi penting, yang salah satunya adalah, pengentasan kemiskinan melelui konsep pembangunan berkelanjutan yang ditargetkan akan terealisasi pada tahun 2015 nanti. Yang jadi persoalan kemudian adalah, “Mampukah Indonesia, khususnya Daerah Kalimantan Timur turut terlibat dan mewujudkan target pengentasan kemiskinan pada tahun 2015 nanti?”. Hal ini sangat bergantung dari keinginan kuat serta kesungguhan (political will) dari Pemerintah kita sendiri. Untuk itu, ada beberapa hal penting yang harus dijadikan fokus kerja pemerintahan daerah Kaltim untuk menjawab persoalan kemiskinan yang masih menjangkiti masyarakat kita, antara lain :

Pertama, Mendorong Akses Kontrol Pemerintah Secara Ketat Terhadap Kekayaan Alam Daerah. Prinsipnya, kemiskinan merupakan buah permasalahan yang muncul akibat lalu lintas perekonomian yang tidak berjalan sesuai dengan harapan, maka dari itu pengentasan kemiskinan (eradiction of property poor) harus difokuskan kepada upaya untuk memperbaiki tingkat pertumbuhan ekonomi daerah, sehingga memunculkan keseimbangan antara angkatan kerja dengan lapangan kerja yang tersedia. Faktor utama yang dijadikan tolak ukur dalam mengurai kemiskinan ini lebih dibebankan kepada tingkat keunggulan komparatif (comparative advantage) dari masing-masing daerah, atau dalam arti kata lain ; potensi alam yang menjadi “kekhususan” daerah, yang dapat dijadikan nilai produksi ekonomi yang menjanjikan. Secara umum, Indonesia memiliki keunggulan komparatif disektor agraris, mengingat luas wilayah daratan Indonesia, 60 % diantaranya dipergunakan dalam aktivitas produksi kebutuhan agraris, baik pertanian maupun perkebunan. Disamping itu, Indonesia juga memiliki cadangan minyak, gas alam, batu bara serta emas yang sangat besar. Kalimantan Timur sendiri merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah, khususnya di sektor tambang batu bara, minyak dan gas. Akan tetapi yang menjadi pesoalan mendasar adalah, apakah tingkat kekayaan alam tersebut telah dikelola sebaik-baiknya dan manfaatnyapun telah diperuntukkan bagi kemakmuran Rakyat Kalimantan Timur sendiri???. Seperti yang kita ketahui berdasarkan data resmi yang dikeluarkan oleh BPS Kaltim, menyebutkan bahwa angka ekspor daerah Kaltim pada tahun 2007 mencapai US$ 16,66 milyar, dimana sektor migas merupakan penyumbang terbesar dengan US$ 11,81 milyar, meningkat sebesar 1,73 % dibanding tahun sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa terjadi grafik pertumbuhan nilai ekspor yang cukup tinggi. (Berita Resmi Statistik Kaltim, Mei 2008) dan seharusnya mampu menjamin kesejahteraan masyarakat Kaltim. Di atas kertas, dengan kekayaan alam yang melimpah ruah tersebut, seharusnya Kaltim memang mampu menghadirkan kesejahteraan serta kemakmuran sebesar-besarnya bagi Rakyat. Namun fakta hari ini berkata sebaliknya. Kaltim justru menjadi salah satu daerah di Indonesia yang memiliki angka kemiskinan yang cukup signifikan. Terlebih lagi, potensi kekayaan alam daerah lebih banyak dikuasai oleh investasi asing yang pada prinsipnya justru kian melemahkan posisi control pemerintah. Misalnya saja kasus yang tentu masih segar dalam ingatan kita, yakni mencuatnya gugatan pemerintah daerah mengenai hak divestasi terhadap PT. Kaltim Prima Coal, yang justru berakhir tanpa hasil yang pasti. Ini jelas menunjukkan bahwa investasi asing tidaklah memberikan kontribusi real dalam makro dan mikro eknomi daerah yang sifatnya jangka panjang. Kekayaan tambang yang dieksploitasi-pun tidak mampu diperuntukkan bagi pembangunan ekonomi daerah yang bemanfaat bagi kehidupan masyarakat. Intinya, pemerintah tidaklah harus memposisikan diri untuk berhadap-hadapan (vis a vis) dengan investor asing, namun pemerintah harus memiliki ketegasan sikap terhadap investasi yang sama sekali tidak memerikan dampak positif terhadap pembangunan yang tidak hanya diukur dari seberapa besar cost peusahaan yang dishare kepada pemerintah, namun juga harus dilihat secara kongkrit manfaatnya industry dan perusahaan tersebut bagi daerah kita sendiri. Contoh lain adalah masalah kian menjamurnya perusahaan tambang batu bara yang peruntukannya justru lebih berorientasi profit pendapatan, ketimbang pembangunan sarana public yang bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi, seperti ; pembangkit listrik, air, dll.

Kedua, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Industri Bagi Rakyat Miskin. Posisi masyarakat kita hari ini, memang kian tersingkirkan dari arena ekonomi. Angka kemiskinan yang semakin tinggi, juga diakibatkan oleh lemahnya akses ekonomi tersebut. Faktualnya, ada sebagian kecil golongan masyarakat yang medominasi panggung ekonomi ini, sementara sebagaian besar tidak memiliki akses sama sekali sehingga begitu sangat tergantung dengan golongan pertama tadi. Memecah situasi kemiskinan ini memang harus dengan keseimbangan ekonomi ini, dimana setiap orang harus memiliki kesempatan serta akses yang sama. Namun tentu hal tersebut memerlukan tahapan, yakni salah satunya adalah mendorong pertumbuhan industry, sehingga mampu menciptakan serapan lapangan kerja baru (imployment effect) bagi masyarakat. Akan tetapi, untuk kondisi Kalimantan Timur sendiri, pembangunan industry dengan harapan akan menyerap tenaga kerja baru, tidaklah cukup!!!. Namun industry tersebut juga harus berorientasi social dalam makna ; bahwa produksi yang dihasilkan memang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Kaltim memang kaya akan migas dan tambang batu bara, akan tetapi tidaklah cukup kaya untuk mensuplay barang kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat. Yang terjadi justru sebaliknya, konsepsi ekonomi yang sangat bergantung dengan migas dan tambang, justru menghilangkan kemandirian ekonomi daerah dengan angka impor barang yang sangat tinggi dari luar daerah, bahkan luar negeri seperti Malaysia dan Singapura. Kaltim sudah seharusnya memaksimalkan potensi daerah guna pengembangan sector industry di luar tambang migas, yakni indsutri manufaktur yang memang oreintasi produknya adalah penyediaan barang-barang konsumsi sehari-hari masyarakat, sehingga masyarakat tidak begitu bergantung dengan produk luar. Pada konteks lain, kaltim juga seharusnya mampu lebih meningkatkan pertumbuhan ekonomi di sector agro industri, khususnya perkebunan dan pertanian.

Ketiga, Mendorong Akses Pelayanan Sosial Secara Maksimal Bagi Rakyat Miskin. Perdebatan mengenai seperti apa bentuk dan sifat layanan public, telah berlangsung sejak lama. Hal tersebut semakin mencapai klimaks ketika tingkat kebutuhan masyarat, khususnya mereka yang berada dalam kategori miskin, melakukan desakan dan tuntutan passif adanya pelayanan social yang lebih murah, cepat dan dan tidak birokratis. Tuntutan ini sangat wajar, mengingat tingkat kesulitan serta beban kehidupan yang semakin berat. Namun yang terjadi dalam praktek selama ini, pemerintah baik level pusat hinggak daerah, termasuk Kalimantan Timur sendiri, terkesan hanya menjadikan tuntutan akses layanan social bagi masyarakat ini tidak lebih hanya sekedera komoditas politik yang “layak jual” disetiap panggung politik. Isu-isu mengenai layanan social hanya dijadikan “trade mark” yang dengan sengaja dibangun sebagai posisi tawar (bargaining position) kepada masyarakat, tanpa ada realisasi sebagai bentuk tanggung jawab yang sudah seharusnya diberikan kepada masyarakat. Isu-isu seperti, pendidikan gratis, layanan kesehatan gratis, hingga akses modal cepat bagi usaha mikro, nampak hanya seperti media untuk mendulang popularitas yang berujung sebagai alat untuk mendulang suara ketika momentum electoral (baca : pemilu, pilkada dll) tiba. Dapat dikatakan bahwa, elit poltiik terkesan lupa bahwa, sesungguhnya persoalan akses layanan social masyarakat adalah kewajiban yang telah diamanatkan oleh konstitusi dan perundang-undangan kita.

Keempat, Menciptakan Anggaran Pemerintah yang Berpihak Kepada Rakyat Miskin serta mendorong partisipasi public dalam penggodokan anggaran. Ini merupakan solusi untuk menjawab kemiskinan yang sangat erat kaitannya dengan point ke-3 diatas. Dimana akses layanan public tersebut sangat bergantung kepada seberapa besar keberpihakan anggaran daerah kepada kepentingan masyrakat. Selama ini, praktek anggaran memang masih didominasi oleh “mainstream individualisme”, dimana anggaran tidak diposisikan sebagai milik bersama, yang oleh pemerintah seharusnya mampu merealisasikannya demi kepentingan rakyat banyak. Belanja rutin dalam APBD saja masih terlampau jauh dibandingkan dengan alokasi anggaran pembangunan, khususnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat yang lebih erat kaitannya dengan akses layanan public, yang mencakup ; kesehatan, pendidikan, modal, sarana dan pra-sarana, dll. Disamping itu, ruang partisipasi juga belumlah sepenuhnya dipraktekkan dalam setiap mekanisme kebijakan anggaran. Misalnya saja, mengenai Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang) yang memiliki landasan hokum kongkrit yang tertuang dalam Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Negara/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tentang Pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Surat edaran ini terbit setiap tahun, dan isinya nyaris sama. Di dalam surat edaran bersama itu diatur mengenai tingkatan pembahasan rencana kerja pemerintah (RKP) untuk jangka dekat, menengah dan panjang. Musrenbang dilakukan dari tingkatan Desa/Kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi hingga tingkat nasional. Di dalam SEB tersebut diatur bahwa pemerintah Kabupaten/kota bertugas memfasilitasi dan membina kegiatan Musrenbang Desa dan Kecamatan dengan pembiayaannya menggunakan APBD. Namun faktanya, setiap Musrembang yang dilakukan dengan melibatkan komponen masyarakat hingga terotorial terendah, hanya sekedar berlangsung sebagai formalitas belaka yang tidak lebih dari upaya “pembenaran” pemerintah karena adanya tuntutan aturan. Begitu halnya dengan aturan lain yang dapat dijadikan sebagai peluang pembangunan partisipasi masyarakat, yakni : Otonomi Desa dan Alokasi Dana Desa (ADD) yang diatur dalam Undang-undang No. 32 tahun 2004. Aturan mengenai otonomi desa memberikan kewenangan kepada Desa untuk membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) sendiri dan membentuk lembaga yang bertujuan memberdayakan masyarakat (Pasal 206 dan 212 UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Sementara untuk aturan tentang Alokasi Dana Desa (ADD) tertuang dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 140 tahun 2005 tentang Pedoman Alokasi Dana Desa dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Pemerintahan Desa. Dengan demikian seharusnya tingkat partisipasi secara konstitutif yang telah diatur dalam beberapa regulasi hokum, dapat diterjemahkan dalam konteks kehidupan nyata masyarakat kita. Namun semua tergantung dari seberapa besar keinginan serta kehendak pemerintah kita.

*Penulis adalah koordinator Divisi Pendidikan PRP Samarinda